BAGIAN 1
LATAR BELAKANG SAYA
LATAR BELAKANG SAYA
BAB 1
DIBESARKAN DALAM AJARAN ISLAM
Hari itu di Mesir, hari yang indah di musim dingin. Udara terasa dingin, mataharipun bersinar terang. Saya baru saja menyelesaikan sarapan di rumah di mana saya tinggal bersama ibu, ayah, saudara laki-laki, saudara perempuan, kakek dan paman saya. Usia saya lima tahun pada saat itu, tetapi ingatan saya masih jelas akan hari itu.
Paman saya berkata, ”Kita akan membaca Al Quran bersama-sama. Sudah kamu pegang salinanmu?” Dengan segera saya ambil buku tipis yang diberikan paman sebelumnya. Buku itu bukan Al Quran secara keseluruhan, hanya sepertigapuluh bagiannya.
Paman saya baru saja lulus dari universitas Islam paling bergengsi di dunia, Al-Azhar di Kairo. Pada usia baru tiga puluh tahunan, ia sekarang menjadi imam di sebuah masjid besar di wilayah kami dan ia dihormati oleh seluruh umat Islam di situ.
Kami berjalan bergandengan tangan menyeberangi jalan menuju kebun keluarga, yang ditanami pohon anggur, pohon ara dan pohon jeruk.
Kebun buah ini berada di pesisir sungai. Ketika kami duduk di tepi sungai, kami dapat melihat perahu-perahu kecil nelayan dan petani membawa kerbau mereka untuk minum dan mandi.
Paman mulai membaca.
Kata-kata itu telah begitu akrab di telinga saya karena saya telah mendengarnya hampir di seluruh hidup saya – di masjid, radio dan dari guru baca Al Quran yang kami bayar untuk datang ke rumah.
Paman membaca ayat pertama dari bagian terakhir Al Quran. Paman lalu meminta agar saya mengulangi bacaan yang ia bacakan. Saya segera melakukannya. Paman mengoreksi pengucapan bahasa Arab kuno saya. Saya disuruh mengulangi lagi dengan mengikutinya sekali lagi. Saya segera melakukannya. Kami lakukan berulang-ulang sampai saya hafal ayat itu dengan sempurna. Kemudian kami lanjutkan dengan ayat 2. Kami membaca tiga sampai empat ayat dengan cara seperti itu. Lalu kami berhenti sejenak.
Orang-orang selalu ingin bertanya kepada paman, pertanyaan-pertanyaan tentang hukum Islam dan keimanan karena ia salah satu dari beberapa sarjana yang tinggal di wilayah kami.
Sambil menunggunya, saya bermain di tepi air. Paman memanggil saya, ”Pulanglah, dan minta ibumu membantumu bersiap diri pergi ke masjid.”
Saya pulang berlari kecil ke rumah. Ketika baru saja masuk melalui pintu depan,
saya mendengar suara kakek memanggil dari kamarnya, ”Kemari, kemari….”
Kakek telah berumur delapan puluh tahunan dan telah rabun. Saya sangat menyayanginya, karena itu saya berlari kekamarnya, mencium tangannya, sementara ia berbaring di tempat tidurnya. Kemudian saya melompat ke tempat tidur, memeluknya.
Iapun berkata, ”Katakan padaku, apakah kamu sudah membaca Al Quran?”
Saya menjawab, ”Sudah.”
Ia berkata lagi, ”Bacakan untukku,” dan saya melakukannya.
Ia sangat berbahagia mendengar saya membaca. ”Anakku,” katanya, ”Saya bersyukur kepada Allah karena engkau. Engkau akan menghafal seluruh isi Al Quran. Engkau akan menjadi lilin bagi keluarga kita.”
Saya menganggukan kepala, lalu keluar dari kamar untuk bersiap diri pergi ke
masjid. Hari itu hari Jumat, hari suci agama Islam, hari di mana khotbah disampaikan di masjid. Ibupun ikut membantu saya mengenakan jubah putih dan topi kopiah – pakaian tradisional kami untuk pergi ke masjid.
Setelah paman saya siap, kamipun berjalan setengah mil menuju masjid bersama-sama
sekeluarga.
Paman memberikan khotbah, sementara itu, ayah, saudara lelaki dan saya duduk di barisan paling depan. Sedangkan Ibu dan kakak perempuan serta kerabat perempuan duduk di belakang, di barisan perempuan. Inilah ingatan tentang hari itu, hari di mana saya mulai menghafal isi Al Quran.
SEBUAH CARA HIDUP
Sejak hari itu, paman menjadi penasihat saya. Ia membimbing saya hampir setiap hari. Ketika saya berumur enam tahun, ia memasukkan saya ke sekolah dasar Al-Azhar. Ada lima puluh sekolah dasar sekuler di propinsi kami tetapi hanya satu sekolah dasar Al-Azhar. Sekolah bergengsi ini difokuskan pada pendidikan agama Islam.
Tidak satupun kakak laki-laki dan perempuan saya bersekolah di sekolah itu, tetapi mereka tidak marah ataupun iri. Mereka justru bangga dan turut merayakan ketika akhirnya saya lulus.
Orang-orang mulai memanggil saya ”Sheik Kecil.”
Saya tidak hanya memenuhi persyaratan sekolah untuk menghafal. Paman telah membantu saya menghafal seluruh isi Al Quran (yang panjangnya kurang lebih sama dengan isi kitab Perjanjian Baru pada masa awal).
Hampir setiap pagi, saya bersama ayah dan paman pergi ke masjid untuk shalat subuh, yang dimulai sekitar pukul 03:30 pagi dan akan berakhir sekitar pukul 04:30 (tergantung kepada gerak waktu setiap tahunnya). Setelah sembahyang, ayah dan paman biasanya pulang dulu ke rumah untuk tidur sekitar dua jam sebelum mulai bekerja.
Saya biasanya menunggu di masjid dengan salinan Al Quran.
Sebelum mulai menghafal ayat-ayat baru, saya menguji diri sendiri akan ayat-ayat yang telah saya hafalkan dua hari sebelumnya.
Setelah saya yakin hafalan itu benar, barulah saya mulai dengan materi baru.
Saya membaca ayat pertama dari sebuah kutipan. Lalu menutup Al Quran dan mengulang ayat tersebut sambil berjalan dari ujung satu ke ujung yang lainnya di dalam masjid. Ketika selesai dengan ayat pertama, saya membuka Al Quran kembali dan membaca ayat yang kedua. Saya terus melakukan hal ini sampai selesai menghafalkannya.
Saya sangat berhati-hati mempertahankan apa yang telah saya pelajari, jadi saya
menghabiskan waktu dua atau tiga hari dalam sebulan untuk meninjau ulang. Jikalau anda bertanya kepada saya tentang sebuah ayat yang telah saya hafalkan beberapa bulan lalu, ayat itu telah ada dalam pikiran saya.
TUJUH TAHUN KEMUDIAN…
Paman bukan hanya membantu saya untuk menghafal, tapi ia juga memastikan saya memahami bahasa Arab kuno – bahasa Al Quran. Orang yang berbahasa Arab rata-rata tidak akan dapat membaca atau mengerti dengan baik jenis bahasa Arab seperti ini, dengan demikian mempelajari bahasa ini menjadi perihal penting dalam pendidikan agama.
Selama tujuh tahun, paman mengajari saya, ayat demi ayat dan pasal demi pasal. Ketika berusia dua belas tahun, saya telah berhasil menghafal Al Quran seluruhnya. Padahal, sesuai sistem pendidikan Al-Azhar, tidak diharuskan menghafal seluruh isi Al Quran sampai menyelesaikan program empat tahun - sarjana di univeristas, jadi saya masih sangat muda saat itu.
Tentu saja, keluarga saya sangat senang. Mereka mengadakan pesta hebat bagi seluruh kaum kerabat kami, di ruangan besar yang dibuat khusus untuk merayakan acara-acara penting keluarga.
Saya tidak pernah melupakan kakek yang telah menjadi buta saat itu. Kakek memanggil saya, ”Anakku, di mana anakku?” Saya berlari kearahnya, ia memeluk, air mata berlinang membasahi wajahnya.
Berhasil mempelajari Al Quran menempatkan diri saya pada posisi yang sangat terhormat bagi seorang anak kecil. Orang-orang telah memperlakukan saya seperti orang kudus karena saya membawa buku kudus di dalam pikiran saya.
Sejak saat itu, secara berurutan saya terus membaca dan meninjau kembali Al Quran untuk memastikan bahwa saya tidak melupakan yang telah saya pelajari.
BERHASIL MENDAPATKAN BEASISWA
Pada waktu di Sekolah Menengah Al-Azhar, satu dari empat tugas utama kami yakni mengingat cerita-cerita yang paling penting dalam hadits. Kebanyakan dari orang-orang Barat tidak mengetahui apa itu hadits, jadi ijinkanlah saya menjelaskannya.
Hadits, yang diucapkan ha-DEETH, adalah catatan berisi ajaran dan tindakan Muhammad. Tulisan-tulisan ini dibuat oleh teman-teman dekat, para pelayan, bahkan isteri-isteri Muhammad.
Sebagai contoh, hadits yang menceritakan bagaimana Muhammad berdoa, bagaimana menyelesaikan perselisihan di antara dua orang Muslim atau peristiwa yang terjadi selama pertarungannya. Ada hadits yang hanya berisikan sebuah kalimat panjang, tetapi ada juga yang berisi satu sampai dua halaman. Namun, rata-rata panjangnya adalah kurang lebih tiga paragraph.
Para pengikut Muhammad sangat berdedikasi menjaga catatan mengenai apa yang Muhammad katakan dan lakukan. Terdapat lebih dari setengah juta hadits! (Untuk informasi lebih lanjut, lihatlah Apendiks A)
Tentu saja tidak ada seorangpun dari antara kita dapat menghafal semua hadits. Tetapi sekolah kami memiliki hadits-hadits tertentu yang diharuskan dihafal setiap semester. Pada hari pertama di kelas hadits, seorang guru akan memberikan sebuah buku dengan hadits yang harus kami hafalkan selama satu semester. Terdapat kurang lebih seratus hadits di dalam setiap buku.
Kami menghafalkan satu - tiga hadits per hari selama tahun-tahun pelajaran. Pamanpun ikut membantu saya dalam menghafal hadits tambahan, sementara saya menghafalkan beberapa hadits lain secara mandiri.
Paman juga melatih saya berkhotbah di masjid, di mana saya telah melakukannya sesekali ketika masih duduk di bangku SMA. Setelah tamat SMA, saya perkirakan telah menghafal antara lima sampai enam ribu hadits.
Pendidikan agama di SMA ini sangat menyeluruh.
Pada saat murid-murid lulus dari SMA Al Azhar pada usia delapan belas, mereka telah berkualitas untuk memimpin doa dan mengajar di masjid tanpa pendidikan lebih lanjut.
Saya adalah sosok penganut Islam yang sangat patuh pada saat itu. Kerinduan saya, mengikuti teladan Muhammad pada setiap perbuatan saya.
MASUK UNIVERSITAS
Setelah lulus SMA, salah satu abang saya menyarankan agar saya masuk sekolah farmasi. Tetapi anggota keluarga lainnya meminta saya untuk melanjutkan pendidikan agama. Jadi saya mendaftar ke Universitas Al-Azhar di Kairo, dan memilih bersekolah di Jurusan Bahasa Arab, seperti paman saya.
Setiap orang Islam pasti telah mengetahui Universitas Al-Azhar, karena universitas ini merupakan sekolah paling terkenal di negara-negara Islam. Pengaruhnya sulit digambarkan kepada orang-orang Barat karena tidak ada universitas dengan status yang seperti ini di negara-negara Barat.
Universitas yang sangat besar, sanggup menampung mahasiswa berjumlah sembilan puluh ribu orang dari seluruh Mesir. Universitas ini sangat tua – Masjid Al-Azhar yang terdapat di dalam kampus ini selesai dibangun tahun 972M, pelajaran akademis mulai diberikan tiga setengah tahun kemudian.11.
Islam for Today s.v. Universitas Al-Azhar, Kairo, “Historical Background,” http:// www.islamfortoday.com/alazhar.html, (diakses, 17 Desember 2003)
Islam for Today s.v. Universitas Al-Azhar, Kairo, “Historical Background,” http:// www.islamfortoday.com/alazhar.html, (diakses, 17 Desember 2003)
Universitas ini juga sangat dihormati – digambarkan oleh sebuah media Islam sebagai ”Kewenangan Tertinggi dalam Islam Sunni.”
Saya selalu menyukai pelajaran sejarah, maka memilih jurusan Sejarah dan Budaya Islam.
Saya ingin belajar lebih banyak lagi tentang kesabaran, keberanian, dan komitmen Muhammad dan teman-temannya yang sangat saya kagumi.
Universitas Al Azhar
Pada hari pertama di kelas, saya memperoleh pengantar pelajaran yang mengejutkan.
Sheikh yang mengajar kami pada pelajaran pertama di hari itu, sosok bertubuh pendek, kulit gelap, sedikit berkumis dan mengenakan kacamata sangat tebal. Ia memberitahukan kami, ”Apa yang saya sampaikan kepada kalian harus diterima sebagai sebuah kebenaran. Saya tidak akan mengijinkan diskusi dalam bentuk apapun di dalam kelas. Apa yang tidak saya utarakan, tidak pantas untuk dipelajari. Dengar dan taati, dan jangan bertanya tentang apapun.”
Saya terganggu dengan filosofi seperti itu, sayapun berdiri dan berbicara, ”Wahai Guru Sheikh, bagaimana bisa pengajaran tanpa pertanyaan?” Sheikh segera memperhatikan saya, karena saya duduk di barisan kedua.
”Dari mana asalmu, anak muda?” dia bertanya.
”Dari Mesir,” jawab saya, padahal sudah jelas saya orang Mesir.
”Saya tahu – tapi Mesir bagian mana?”
Saya menyebutkan nama daerah saya, dan dia berteriak, ”Jadi jelas kamu keledai dungu!” Ia berkata begitu karena orang-orang daerah saya memang sering dipandang rendah.
Jawab saya, ”Ya, saya seekor keledai yang meninggalkan rumah dan datang kemari untuk dihina.”
Kelas pun menjadi sunyi. Saya keluar dari barisan kursi, melangkah menuju pintu untuk keluar kelas.
Sheikh berteriak, ”Berhenti, kamu binatang! Siapa namamu?”
”Tidak ada untungnya aku beritahu kamu,” jawab saya dingin.
Sampai di sini, sheikh ini menjadi sangat marah, dan dia mulai memanas-manasi akan menghapus nama saya dari daftar universitas lalu membuang saya ke jalan.
Saya meninggalkan ruangan itu, dan langsung menuju ke dekan fakultas. Saya ceritakan kepada Dekan, apa yang telah terjadi. Setelah sheikh selesai dengan pelajarannya, dekan memanggilnya ke ruangan dekan.
Dekan ini sangat ahli meyakinkan sheikh untuk memaafkan saya. Ia juga meminta saya lebih bersikap toleran.
”Terima dia sebagaimana figur seorang ayah,” kata Dekan kepada saya, ”yang ingin mengoreksi kamu, bukannya menghinamu.”
Peristiwa itu mengajarkan saya bagaimana berdiam dan tunduk seperti yang diminta oleh universitas.
Metode belajar kami, membaca buku-buku yang ditulis ahli-ahli agama Islam terbesar, baik yang modern maupun kuno.
Kemudian membuat daftar poin-poin penting dari setiap buku dan menghafalkan daftar tersebut. Kami akan menjalani tes tertulis untuk setiap kelas dan beberapa guru akan meminta laporan.
Saya juga membaca bacaan tambahan dan puisi berbahasa Arab untuk saya nikmati sendiri. Walaupun saya tahu, seringkali saya mengajukan pertanyaan yang tidak disukai oleh guru-guru.
TERLALU BANYAK PERTANYAAN
Sebagai contoh, saya bertanya kepada salah seorang profesor kami, ”Mengapa pada awalnya Muhammad mengajarkan kita berteman dengan orang-orang Kristen tetapi kemudian Muhammad meminta kita membunuh mereka?”
Profesor tersebut menjawab, ”Apa yang telah nabi perintahkan kepadamu untuk dilakukan, lakukanlah itu. Apa yang dilarangnya, itu terlarang bagimu. Apa yang ia ijinkan, itu diijinkan untukmu. Kamu bukanlah seorang muslim sejati jika tidak tunduk kepada kata-kata Muhammad.”
Saya bertanya kepada profesor lain, ”Mengapa Nabi Muhammad diijinkan menikahi sampai tiga belas perempuan, sedangkan kita diperintahkan hanya menikahi tidak lebih dari empat perempuan? Al Quran berkata, Muhammad hanyalah manusia biasa, tetapi mengapa ia mendapatkan hak istimewa?”
Profesor itu lalu menjawab, ”Tidak. Jika kamu perhatikan baik-baik, kamu akan melihat bahwa Allah memberikan kepadamu hak melebihi hak nabi.”
”Allah meminta kamu menikahi tidak lebih dari empat perempuan. Tetapi kita diberikan hak untuk menceraikan. Sehingga kamu dapat menikahi empat perempuan pada hari ini, dan menceraikan mereka keesokan harinya, dan menikahi empat perempuan lainnya. Dengan demikian kamu dapat memiliki isteri pada jumlah tidak terbatas.”
Bagi saya, itu bukan jawaban yang masuk akal, terutama karena sejarah keislaman menunjukkan bahwa Muhammad juga punya hak menceraikan. Muhammad juga mendapatkan banyak masalah dengan isteri-isterinya hingga suatu hari ia mengancam hendak menceraikan mereka semua.
Saya bahkan bertanya kepada Sheikh Omar Abdel, yang dikenal sebagai dalang di belakang serangan bom terhadap gedung World Trade Center tahun 1993. Ketika saya masih kuliah di Al-Azhar, beliau adalah salah satu profesor di kelas penafsiran Al Quran.
Beliau memberikan kesempatan bertanya kepada kami, oleh karena itu saya berdiri di hadapan lima ratus siswa dan bertanya, ”Mengapa setiap saat anda mengajarkan kami tentang jihad? Bagaimana dengan ayat-ayat lain dalam Al Quran yang berbicara tentang damai, kasih dan pengampunan?”
Wajahnya langsung memerah. Saya dapat melihat kemarahannya, tetapi saya juga melihat, dia memilih mengendalikannya, bukannya berteriak kepada saya, ia malah mengambil waktu menegakkan posisi duduk.
Dia berkata, ”Saudaraku, ada surat (pasal) yang disebut ’rampasan perang.’ Tetapi tidak ada surat yang dinamakan ’damai.’ Jihad dan membunuh adalah inti dari agama Islam. Jika kamu menghapusnya, maka kamu memotong inti dari Islam.” Jawaban yang saya dapatkan dari dia dan para profesor lainnya tidak memuaskan saya.
Beberapa orang menyebut saya si pembuat masalah, tetapi yang lainnya bersikap lebih sabar, meyakini bahwa saya benar-benar ingin belajar.
Pada saat yang sama, saya menonjol pada setiap pelajaran. Setelah empat tahun, saya lulus dengan peringkat kedua terbaik dari enam ribu siswa.
Peringkat itu didasarkan pada penilaian dari ujian lisan dan tulisan yang diberikan pada akhir tahun perkuliahan. Ujian lisan difokuskan pada hafalan Al Quran dan hadits, dan ujian tertulis mencakup semua materi yang kami pelajari di kelas. Setiap tahun anda dapat mengumpulkan maksimal seribu lima ratus poin.
GELAR MASTER DAN MENGAJAR
Sebelum saya mengambil gelar master, saya menghabiskan satu tahun kewajiban di angkatan bersenjata. Setelah selesai, saya kembali ke Al-Azhar.
Kesimpulan saya pada saat itu, tidak ada profesor atau sheikh yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Karenanya, saya harus menjawabnya sendiri, dan melakukan penelitian tesis master adalah kesempatan yang baik untuk hal itu.
Tidak ada seorangpun yang memberitahukan apa yang harus saya baca, sehingga saya membaca begitu banyak materi mengenai sejarah Islam. Tetapi, bukannya menemukan jawaban, saya malah menjadi kecewa dengan Islam.
Tanpa membesar-besarkan dengan segala cara, saya dapat katakan, sejarah Islam adalah cerita-cerita kekerasan dan pertumpahan darah dari zaman Muhammad sampai saat ini.
Ketika saya melihat ajaran Al Quran dan Muhammad, saya dapat melihat mengapa sejarah Islam berkembang dengan cara seperti itu. Sayapun berpikir, Tuhan seperti apakah yang dapat mengampuni kerusakan hidup manusia seperti itu? Tetapi saya menyimpan hal ini menjadi pertanyaan bagi diri sendiri.
Tesis master saya menimbulkan banyak keributan. Saya tetap pada topik mempertanyakan Islam, tetapi juga menyentuh salah satu isu kontroversial, yaitu mengenai bagaimana bentuk pemerintah yang seharusnya dimiliki oleh sebuah negara Islam.
Pemerintah Mesir menyukai gagasan tesis saya dan membuatnya menjadi siaran langsung di sebuah stasiun radio Al Quran nasional untuk saat-saat di mana saya mempertahankan tesis saya.
Dari luar, saya terlihat begitu sukses. Universitas meminta saya untuk mulai mengajar pada bidang yang saya kuasai – sejarah dan budaya Islam. Pada usia dua puluh delapan tahun, saya menjadi salah satu dosen termuda yang pernah ada. Saya juga masih memimpin doa dan ceramah di sebuah masjid dipinggiran kota Kairo.
Namun, di dalam hati, saya masih mencari kebenaran.
Sampai di sini, saya tidak lagi mengendalikan hidup saya. Saya tidak dapat berhenti
dan mencari pekerjaan lain. Universitas, dan keluarga, dan orang-orang di lingkungan saya bertanya, “mengapa kamu lakukan itu?” Tak masuk akal meninggalkan semua pendidikan ini.
Saya tidak punya pilihan selain melanjutkan perjalanan ini, maka sayapun mulai melanjutkan untuk gelar doktor.
____________________
1
Islam for Today s.v. Universitas Al-Azhar, Kairo, “Historical Background,”
http://www.islamfortoday.com/alazhar.html, (diakses, 17 Desember 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar