YESUS
dan
Muhammad
Perbedaan Mendasar dan Kesamaan Mengejutkan

bab02

BAGIAN 1
LATAR BELAKANG SAYA

BAB 2
MENINGGALKAN UNIVERSITAS

Saya menghabiskan dua tahun melakukan penelitian untuk gelar doktor. Selama kurun waktu tersebut, saya memiliki dua tanggung jawab utama, mengajar di Universitas Al-Azhar, di Kairo, dan universitas-universitas Islam lainnya di Timur Tengah.
Tetapi, saya juga sebagai pemimpin pada sebuah masjid kecil. Saya memimpin doa pertama, ke empat dan ke lima setiap hari. Pada hari Jumat saya berkhotbah serta memimpin doa sepanjang hari.

Saya senang sekali mengajar dan berbicara dengan para murid. Kemudian, saya mulai mengajar dengan cara baru. Saya mengijinkan para mahasiswa berdebat dan bertanya. Hal ini merupakan cara yang berbahaya.
Misalnya, ketika saya mengajar mereka tentang pemimpin-pemimpin Islam pada masa mula-mula, ada cerita tentang Muawiya [Moo-uh-Ww-yuh] dan puteranya, inti dari tesis saya.

Muawiya adalah salah seorang dari penulis pewahyuan Al Quran untuk Muhammad yang tidak bisa membaca atau menulis.
Muawiya menjadi pemimpin dunia Islam setelah Muhammad.
Sebelum meninggal, Muawiya menasehatkan puteranya untuk menangkap dan membunuh empat orang yang dapat mengancam kesempatan puteranya itu menjadi pemimpin Islam berikutnya. Putera Muawiya mengikuti nasehat ayahnya, ia membunuh cucu Muhammad demi mengamankan posisinya.
Saya memberitahukan para mahasiswa, “Mari kita melihat kepada Tuhan dalam situasi ini. Kita perlu mencari cinta dan belas kasihan Tuhan pada situasi ini.”

Saya ingin membangun semangat baru di dalam kelas itu. Saya pernah tidak dijinkan bertanya ketika semasih menjadi mahasiswa. Tetapi, saya ingin para mahasiswa saya dapat berpikir bebas dan menggunakan otak mereka tanpa merasa takut oleh karena adanya konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Kebanyakan mahasiswa mampu berpikir kritis.
Seorang mahasiswa bertanya, “Apakah hadits itu benar-benar ada? Jangan-jangan orang Yahudi yang membuatnya.” Saya mengajaknya melihat sumber cerita itu dan menjawab, “Ini kisah nyata dan bukan karangan.” Jadi mereka benar-benar merenungkan persoalan itu.

Tetapi beberapa dari mahasiswa radikal merasa bahwa saya telah memojokkan Islam, “Allah mengampuni kita,” teriak mereka. “Anda dosen kami. Ajarkanlah kami tentang Islam. Anda membingungkan kami.”
Mahasiswa-mahasiswa ini mendatangi pemimpin universitas dan berkata, “Dosen yang satu ini berbahaya. Kami tidak tahu, ia masih muslim atau telah berpaling.”

Universitas Al Azhar

Al-Azhar sangat takut ada kekuatan asing menyerangnya dari dalam. Ketua departemen memanggil saya menemuinya.
“Universitas akan menghancurkan saya,” pikir saya pada saat itu. Tetapi saya juga berpikir, “Dosen-dosen ini kenalan baik saya. Mereka tahu isi hati dan keinginan saya untuk belajar. Merekapun juga tahu tidak ada pertanyaan saya yang baru.”

Pada pertemuan itu, ketua departemen menangkap perkembangan baru pada pemikiran saya. Ia lalu menjadi takut karenanya.
“Anakku,” katanya, “Kita tidak bisa melihat masalah ini dengan cara seperti itu. Ada aturan-aturan dan kita harus mematuhinya. Kita tidak boleh berpikir lebih dari pada Nabi atau Tuhan. Ketika engkau merasa kebingungan, katakan saja, ‘Allah dan RasulNya mengetahui kebenarannya.’ Serahkan kembali ke tangan mereka dan lanjutkan.” Tetapi ia menyadari bahwa saya perlu ditangani.

Kemudian, saya dipanggil dalam pertemuan yang lain, dengan komite penegakan peraturan universitas. Pertemuan berjalan baik, awalnya. Mereka tidak ingin saya keluar dari universitas tetapi juga saya tidak boleh mengkritik Islam.
Pada awalnya, mereka hanya menunjukkan sikap yang mengatur. Mereka menanyakan tentang hidup, rumah dan keluarga saya. Kemudian mereka berbicara tentang kelas dan mahasiswa saya.

Pada akhirnya, mereka mulai bersikap menantang saya, “Mengapa anda mengangkat pertanyaan seperti itu? Tidakkah anda tahu, anda harus juga mengatasi masalah sama seperti yang kita semua lakukan? Anda tahu banyak hal, tetapi tidak peduli tentang ‘berapapun banyaknya kita pelajari, tetap saja masih jauh dari kebenaran.’ Jadi, milikilah disiplin. Katakan apa yang anda pahami. Ketika ada kebingungan, katakan saja, ’Allah dan nabi-Nya yang mengetahui.’”

Mereka bertanya, “Apakah anda mempelajari The Sword on the Neck of The Unbeliever, seperti yang kami minta kepada anda?” Buku ini mengajak umat Islam untuk menerima ajaran Muhammad tanpa pertanyaan.
Saya menjawab, “Saya telah membacanya berulang kali, hingga hampir menghafalnya, sama seperti Al Quran.”

Sampai di sini, saya punya dua pilihan.
Saya dapat mengakui semua kesalahan saya, dan setuju untuk mengajar dengan cara lama, maka saya akan baik-baik saja. Atau, saya memberitahu mereka apa yang saya pikirkan.
Saya kemudian menjawab, “Begini, apa yang saya katakan kepada anda sekarang, bukanlah karena saya ingin menuduh Nabi ataupun agama Islam. Saya sangat meyakini mereka di dalam hati saya. Anda kenal saya. Anda mencintai saya. Tolong jangan tuduh saya. Tetapi, carilah jalan untuk menolong saya dan menjawab pertanyaan saya.”
“Kita mengatakan Al Quran diturunkan langsung dari Allah, tetapi saya meragukannya. Saya melihat itu sebagai hasil pemikiran seorang manusia, bukan firman dari Tuhan yang sebenarnya.”

Suasana pada pertemuan seketika berubah. Seorang pria menjadi marah. Ia lalu bangkit dari tempat duduknya, berdiri tepat di depan saya, dan ia meludahi wajah saya. “Kamu penghujat,” gertaknya, “Aku bersumpah, ibumu pasti seorang bajingan.” Saya dapat menebak dari wajah pria itu, jika pada pertemuan ini tidak ada orang lain, ia pasti sudah membunuh saya seketika itu juga.
“Keluar,” teriak pria itu.
Saya berdiri hendak meninggalkan ruangan. Pada saat itu seluruh tubuh saya bergetar dan keluar keringat. Saya sadar, kata-kata yang baru saja saya ucapkan merupakan jaminan kematian. Saya berpikir, “Apakah mereka akan membunuh saya? Bagaimana? Kapan? Siapa? Apakah keluarga saya yang akan melakukannya? Atau orang-orang di masjid tempat saya mengajar? Ataukah mahasiswa saya?”

Kejadian itu adalah saat-saat terburuk dalam hidup saya. Saya lalu meninggalkan pertemuan itu dan segera pulang ke rumah. Saya tidak mengatakan apapun kepada keluarga perihal yang baru saja terjadi, tetapi kemudian saya mengerti, saya kecewa terhadap sesuatu. Saya tidur lebih cepat malam itu.

PERJALANAN MENUJU PENJARA

Pada pagi-pagi benar, sekitar jam 3, pada malam yang sama, ayah saya mendengar suara keras ketukan pintu di depan rumah. Ketika ayah membuka pintu, lima belas sampai dua puluh pria menyeruduk melewatinya sambil membawa senjata buatan Rusia, Kalashnikov.
Mereka segera naik ke atas dan ke seluruh bagian rumah. Mereka membangunkan setiap orang untuk mencari saya.

Satu di antara mereka menemukan saya tidur di tempat tidur saya. Seluruh keluarga terbangun, mereka menangis dan ketakutan di saat melihat seorang pria menarik saya keluar dari pintu depan.
Mereka mendorong saya ke bagian belakang mobil dan membawa saya pergi. Saya terkejut, tetapi saya tahu, inilah hasil dari apa yang telah terjadi di universitas sehari sebelumnya. Saya di taruh di tempat mirip penjara, di sinilah saya di tempatkan di dalam sel dengan tahanan lain.

Ke esokan pagi, orang tua saya dengan gelisah coba mencari tahu apa yang telah terjadi. Segera saja mereka pergi ke kantor polisi dan bertanya, “Di mana anak kami?” Tetapi tidak seorangpun mengetahui tentang saya. Saya berada di tangan polisi rahasia Mesir.

DITUDUH MENJADI KRISTEN

Selama tiga hari itu, para penjaga tidak memberi makan ataupun minum. Pada hari keempat, interogasi dimulai. Selama empat hari ke depan, tujuan polisi rahasia adalah membuat saya mengakui bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan menjelaskan bagaimana hal itu terjadi.
Cara mereka, dengan meninggalkan saya sendirian sepanjang hari dan mengeluarkan saya dari sel pada malam hari untuk diinterogasi.

Pada malam pertama, di dalam sebuah ruangan dengan meja besar, pertanyaan pun dimulai. Di situ, orang yang menanyai saya duduk dengan sebatang rokok di tangannya, kami dibatasi meja besar itu. Ia yakin, saya telah murtad dan menjadi Kristen.
Orang itu terus saja bertanya kepada saya, “Pendeta mana yang telah berbicara dengan kamu? Gereja mana yang kamu kunjungi? Mengapa kamu menghianati Islam?”
Ia melakukan lebih dari sekedar bicara. Ada bekas luka bakar pada tangan, lengan dan muka saya, akibat sundutan rokoknya dan alat pemanas besi. Ia lakukan itu untuk menunjukkan kesungguhannya.
Ia ingin saya mengaku, “Saya telah murtad.” Tetapi saya jawab, “Saya tidak mengkhianati Islam. Saya hanya mengatakan apa yang saya percayai. Saya seorang akademisi. Saya seorang pemikir.”
“Saya punya hak membahas topik apapun tentang agama Islam. Itu jadi bagian dari pekerjaan dan kehidupan akademik saya. Saya tidak pernah bermimpi untuk murtad dari Islam – Islam adalah darah, budaya, bahasa, keluarga dan hidup saya.”
“Tetapi jika anda menuduh saya murtad dari Islam karena apa yang saya katakan kepadamu, maka keluarkanlah saya dari Islam. Saya tidak keberatan dikeluarkan dari Islam.”

Para penjaga menarik saya dan mengembalikan saya ke dalam sel sepanjang hari itu. Teman satu sel berpikir bahwa saya dihukum oleh karena saya seorang pengkaji agama Islam. Ia memberikan saya makanan dan minumannya.
Ke esokan malam, saya digiring ke dalam sebuah ruangan dengan tempat tidur besi ada di dalamnya. Para penjaga selalu mengucapkan sumpah serapah kepada saya serta menghina saya, mereka mencoba mendapatkan pengakuan dari saya. Mereka mengikat saya di tempat tidur besi itu, mencambuk kaki saya sampai saya pingsan.

Ketika saya tersadar, itu karena air dingin dari tangki kecil mereka.
Mereka telah memaksa saya bangun, dan itu tidak lama sebelum akhirnya saya pingsan lagi. Ketika saya bangun, saya tergeletak di atas tempat tidur besi di mana mereka mencambuki saya, masih dengan pakaian yang basah kuyub.
Saya menghabiskan satu hari lagi di dalam sel.

Malam berikut, saya dibawa keluar, ke bagian belakang bangunan itu. Saya melihat sebuah ruangan kecil, tanpa jendela ataupun pintu. Hanya satu cara membukanya, melalui jendela di bagian atasnya. Para penjaga memaksa saya menaiki tangga menuju ke atas dan berkata, “Masuk.”
Saya meluncur ke bawah dari pintu masuk itu dan merasakan air di seluruh tubuh saya. Saya merasakan kaki berpijak di atas tanah. Air menutupi tubuh sampai sebatas bahu saya. Saya melihat ada sesuatu berenang di atas air – tikus.
“Orang ini pemikir agama Islam,” umpat mereka, “jadi biarkan saja tikus memakan kepalanya.”

Mereka menutup pintu atas. Saya tidak dapat melihat apapun. Saya posisi berdiri di dalam air dan menunggu dalam kegelapan. Beberapa menit berlalu. Kemudian beberapa jam. Ke esokan pagi para penjaga datang kembali, melihat apakah saya masih hidup.
Saya tidak akan pernah melupakan sinar matahari yang terlihat saat pintu atas ruangan itu dibuka. Sepanjang malam saya merasakan tikus-tikus menaiki kepala dan bahu saya, tetapi tidak satu ekorpun yang mengigit saya. Para penjaga membawa saya kembali ke dalam sel dengan heran.

Pada malam hari, para penjaga membawa saya ke depan ruangan kecil dan berkata, “Ada yang sangat mencintaimu dan ingin bertemu denganmu.”
Saya berharap, itu adalah salah satu anggota keluarga atau teman yang mengunjungi atau membawa saya keluar dari penjara.

Mereka lalu membuka pintu ruangan, di dalamnya tampak seekor anjing besar. Tidak ada orang lain di dalam ruangan itu. Mereka mendorong saya masuk dan menutup pintu.
Di dalam hati, saya berteriak kepada Sang Pencipta, “Engkaulah Tuhanku. Engkaulah yang menjagaku. Bagaimanakah Engkau dapat meninggalkanku di tangan orang-orang jahat ini? Saya tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang ini terhadapku, tetapi saya tahu, Engkau bersamaku. Satu hari nanti saya akan melihatMu, bertemu denganMu.”

Saya berjalan ke tengah ruangan kosong itu dan duduk dengan kaki bersila di atas lantai. Anjing itu menghampiri dan duduk di depan saya. Menit-menit berlalu di mana anjing itu menatap saya.
Anjing itu lalu berdiri, berjalan mengintari saya, seperti hewan buas yang hendak memangsa sesuatu. Ia berjalan ke sebelah kanan saya, menjilati telinga saya, dan duduk di situ. Saya sangat lelah.
Tidak lama setelah ia duduk di sebelah kanan saya, saya tertidur.

Ketika saya bangun, anjing itu duduk di sudut ruangan. Lalu berlari ke arah saya dan duduk kembali di sebelah kanan saya. Ketika para penjaga membuka pintu, mereka melihat saya sedang berdoa, dengan anjing yang duduk di sebelah kanan saya. Mereka mulai benar-benar merasa bingung melihat saya.
Itu hari terakhir saya diinterogasi.
Saya kemudian dipindahkan ke penjara permanen. Sampai di sini, dalam hati, saya benar-benar menolak Islam.

Selama saat-saat itu berlangsung, keluarga saya terus berupaya mencari tahu di mana saya berada. Tetapi mereka tidak berhasil sampai kakak lelaki ibu saya, seorang petinggi di Parlemen Mesir, kembali ke Mesir setelah perjalanannya dari luar negeri. Ibu saya meneleponnya, sambil menangis tersedu-sedu berkata, “Selama dua minggu kami tidak tahu di mana putera kami berada. Ia hilang.”
Paman saya ini memiliki jaringan yang tepat. Lima belas hari setelah saya diculik, ia datang ke penjara seorang diri dengan surat jaminan pembebasan dan membawa saya pulang ke rumah.

PERUBAHAN DIAM-DIAM

Beberapa orang mungkin saja berkata, “Tidaklah heran orang ini meninggalkan Islam. Ia kecewa karena dianiaya oleh orang-orang Islam.”
Ya memanglah benar. Ketika saya dianiaya atas nama membela agama Islam, saya tidak membuat perbedaan antara orang Islam dan ajaran Islam. Jadi, penganiayaan itu merupakan dorongan terakhir yang memisahkan saya dari Islam.

Namun sesungguhnya saya telah mempertanyakan Islam beberapa tahun sebelum saya dipenjarakan. Pertanyaan saya bukan didasarkan pada tindakan umat Islam, melainkan pada tindakan Muhammad dan para pengikutnya, dan juga terhadap ajaran Al Quran. Dimasukkan ke penjara hanya mempercepat langkah ke mana saya akan pergi.

Saya kembali ke rumah orang tua untuk mencari tahu apa yang akan saya lakukan selanjutnya.
Kemudian seorang polisi memberikan laporan kepada ayah:
“Kami menerima fax dari Universitas Al-Azhar yang menuduh anak anda telah meninggalkan agama Islam, tetapi setelah interogasi selama lima belas hari kami tidak menemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pernyataan itu.”

Ayah saya lega mendengar hal itu. Ayah tidak pernah bermimpi, saya akan meninggalkan Islam.
Bagaimanapun saya tidak memberitahukan kepada ayah perasaan saya yang sebenarnya. Anggapan ayah, semua peristiwa itu akibat perbuatan buruk beberapa orang di universitas tempat saya mengajar. Saya mendukungnya mempercayai hal itu.
“Kita tidak butuh mereka,” tegas ayah.
Segera setelah itu, ayah meminta saya memulai pekerjaan sebagai Direktur Pemasaran di pabriknya. Namun, ia tidak memahami akan kekacauan yang terjadi di dalam diri saya.

Tidak ada komentar: